Darah haid, sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Qasim al-Ghazzi di dalam Fathul Qarib al-Mujib adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita pada usia haid, yaitu usia sembilan tahun atau lebih, dalam keadaan sehat, yaitu tidak karena sakit, tetapi pada batas kewajaran, bukan pula karena melahirkan. Sementara darah nifas adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita setelah melahirkan, sehingga darah yang keluar bersamaan dengan bayi atau sebelumnya tidaklah disebut sebagai nifas.
Di dalam madzhab Syafi’i, haram hukumnya membaca al-Qur’an bagi wanita yang haid dan nifas, sama seperti haram hukumnya bagi orang yang dalam keadaan junub.
Di antara dalilnya adalah sebagaimana yang kami kemukakan sebelumnya, yaitu dari Ibn ‘Umar ra. bahwa Nabi saw. pernah bersabda: ”Tidak boleh orang yang haid dan junub membaca al-Qur’an.” Dalil ini sebenarnya juga bisa mencakup hukum bagi wanita yang nifas, walaupun memang tidak disebutkan secara langsung. Abul Hasan al-Mawardi di dalam al-lqna’ fil Fiqhisy-Syafi’i mengatakan: ”Diharamkan pula kepada wanita yang nifas sesuatu yang diharamkan kepada yang haid.”
Memang ada ulama lain yang menyebutkan bahwa riwayat tersebut dinilai dhaif karena di dalam sanadnya terdapat perawi yang bernama Isma’il ibn ‘Ayyasy. Namun, banyak juga yang justru menyebutnya sebagai perawi yang tsiqah. Asy-Syaukani di dalam as-Sail al-Jarar bahkan mengatakan: “Penilaian lemah terhadap Isma’il ibn ‘Ayyasy adalah penilaian yang tertolak, karena haditsnya diriwayatkan pula melalui jalur periwayatan lainnya, dan ia juga tidak dapat dinilai cacat yang menjadikan haditsnya tidak layak dijadikan hujjah. Al-Mundziri mengatakan: ‘Hadits ini adalah hadits hasan. Isma’il ibn ‘Ayyasy memang diperbincangkan oleh para ulama, namun banyak para imam yang memujinya?’ Penjelasan yang sama juga dapat kita temukan di dalam Nihayah al-Muhtaj ila Syarhil Minhaj yang ditulis oleh Syamsuddin ar-Ramli.
‘Abdul Karim ar-Rafi’i di dalam Fathul ‘Aziz bi Syarhil Wajiz mengatakan: “Sebagaimana haramnya membaca al-Qur’an bagi yang junub, maka haram pula membacanya bagi wanita yang haid, karena hadatsnya justru lebih berat, sehingga keharaman hukumnya pun lebih utama.”
Ulama lain memang ada yang membolehkan bagi wanita haid untuk tetap membaca al-Qur’an jika ditakutkan membuat ia lupa akan hafalannya. Namun, dalam hal ini anNawawi di dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab mengatakan: “Masa haid yang berlangsung beberapa hari biasanya tidak sampai bisa membuat orang lupa pada hafalannya. Adapun jika tetap khawatir lupa hafalannya, maka cukuplah ia mengulang hafalan al-Qur’annya di dalam hatinya.”
Sebagai tambahan, hal yang paling sering menjadi pertanyaan terkait wanita haid di antaranya adalah tentang boleh atau tidaknya ia mengajarkan al-Qur’an dalam keadaan haid. Maka dalam hal ini, di dalam Bughyah al-Mustarsyidin, ‘Abdurrahman ibn Muhammad Ba’alawi memberikan penjelasan bahwa yang junub dan semisalnya, termasuk yang haid, maka boleh hukumnya mengajarkan al-Qur’an asalkan tujuannya bukan membaca, juga tidak bertujuan mengajar sambil membaca, tetapi hanya bertujuan mengajar saja.
Sumber : https://sobatquran.id/